Minggu, 20 November 2016

ANALISIS KEBIJAKAN UNDANG-UNDANG KESEHATAN NO. 36 TAHUN 2009


Rangkuman Eksekutif
Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tercantum jelas cita-cita bangsa Indonesia yang sekaligus merupakan tujuan nasional bangsa Indonesia. Tujuan nasional tersebut adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi serta keadilan sosial. Untuk mencapai tujuan nasional tersebut diselenggarakanlah upaya pembangunan yang berkesinambungan yang merupakan suatu rangkaian pembangunan yang menyeluruh terarah dan terpadu, termasuk di antaranya pembangunan kesehatan yang diimplementasikan dalam Undang-Undang No.36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Dalam paper ini kami mencoba untuk membahas beberapa pasal dalam UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan yang berisi kebijakan tentang kesehatan reproduksi.
Beberapa kebijakan yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi telah disusun dan diimplementasikan salah satu diantaranya adalah UU Kependudukan dan Kesejahteraan Keluarga Nomor 52 Tahun 2009  meskipun masih banyak aspek atau isu yang belum mendapat perhatian secara penuh. Berbagai faktor diduga ikut berpengaruh terhadap upaya peningkatan perhatian terhadap isu-isu yang berhubungan dengan kebijakan mengenai kesehatan reproduksi.
Kesehatan reproduksi merupakan salah satu determinan penting pencapaian tujuan pembangunan kependudukan dan kesehatan di Indonesia. Angka Kematian Ibu (AKI), perkawinan usia dini, dan angka fertilitas total (Total Fertility Rate atau TFR) merupakan sebagian indikator yang menunjukkan pentingnya peran kebijakan kesehatan reproduksi tersebut.
Dewasa ini, bermunculan permasalahan kesehatan yang timbul sebagai akibat dari tindakan malpraktik (kelalaian medik) misalnya meningkatnya kasus aborsi, tidak adanya perhatian yang khusus pada keluarga berncana menyebabkan angka penduduk makin meningkat serta pentingnya masalah transfusi darah  sehingga diperlukan perhatian penting melalui upaya atau membuat kebijakan untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan terhadap tindak pidana malpraktik sebagai bentuk upaya perlindungan terhadap pasien dan tenaga kesehatan itu sendiri.
Tujuan yang ingin dicapai dalam penyusunan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 ialah Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis.
Dengan adanya Undang-Undang tersebut  sebagai pendekatan dalam kebijakan memberikan perubahan paradigma baru yaitu paradigma sehat yang berarti bahwa lebih promosi dan pencegahan kesehatan tanpa melupakan kuratif dan rehabilitatif. Ini memberikan indikasi bahwa dengan adanya paradigma seperti itu akan merubah perilaku masyarakat dan akan mengurangi angka kesakitan dan kematian.

Dengan melihat Undang-Undang No36 tahun 2009 pada Pasal 77 , bisa disimpulkan bahwa larangan untuk melakukan aborsi yang dapat membahayakan kesehatan bagi yang melakukannya serta melanggar pertauran agama yang mengatakan aborsi itu haram.
Prediksi Kebijakan merupakan upaya untuk memperkirakan berhasil tidaknya kebijakan yang telah dibuat oleh Pemerintah RI dalam bidang kesehatan pada saat/dimulai sekarang sampai 3-5 tahun kedepan. Prediksi keberhasilan kebijakan ini dapat dilihat dari gambaran pembangunan kesehatan yang telah dicapai 1-3 tahun terakhir. elaksanaan Pembangunan Kesehatan selama beberapadasawarsa maka derajat kesehatan masyarakat Indonesia telahmeningkat secara bermakna. Namun disparitas derajat kesehatanmasyarakat antar kawasan, antar kelompok masyarakat, danantar tingkat sosial ekonomi masih dijumpai. Peningkatan derajat kesehatan dari tahun ke tahun bukan hanya disebabkan karena terbentuknya Undang-Undang No.36 Tahun 2009, tapi merupakan hasil dari kinerja semua sector yang terkait dalam bidang kesehatan. Sebuah aturan tidak akan bermakna jika tidak ada aplikasi yang dilakukan oleh para pelaku Undang-Undang.
Asas Undang-Undang No.36 Tahun 2009 ialah Pembangunan kesehatan diselenggarakan dengan berasaskan perikemanusiaan, keseimbangan, manfaat, pelindungan, penghormatan terhadap hak dan kewajiban, keadilan, gender dan nondiskriminatif dan norma-norma agama,  Undang-Undang No.23 Tahun 1992 dengan paradigma sakit kemudian diubah menjadi paradigm sehat pada Undang-Undang No. 36 Tahun 2009, Kesehatan merupakan hak asasi manusia jadi setiap manusia berhak memperoleh pelayanan kesehatan tanpa diskriminasi











DAFTAR ISI

                                                                                                                        Halaman
RINGKASAN EKSEKUTIF .................................................................................      2
DAFTAR ISI............................................................................................................      5
BAB I  KAJIAN KEBIJAKAN ...............................................................................      6
A.   Isi Pasal 71-82...........................................................................................      7
B.   Penjelasan Pasal......................................................................................      10
C.   Masalah Dasar..........................................................................................      11
D.   Penjelasan Pasal......................................................................................      10
E.   Kajian Kebijakan.......................................................................................      14
F.    Pasal yang Bermasalah...........................................................................      19
G.   Penjelasan Pasal......................................................................................      10
BAB II KONSEKUENSI DAN RESISTENSI.....................................................      20
A.   Perilaku Yang Muncul.............................................................................      20
B.   Resistensi...................................................................................................      22
C.   Masalah Baru Yang Timbul.....................................................................      23
BAB III PERDIKSI KEBERHASILAN.................................................................      24
A.   Prediktif “Trade Off”...................................................................................      24
B.   Prediksi Keberhasilan..............................................................................      24
BAB IV KESIMPULAN DAN REKOMENDASI.................................................      26
A.   Kesimpulan................................................................................................      26
B.   Rekomendasi.............................................................................................      26
DAFTAR PUSTAKA





BAB I
KAJIAN KEBIJAKAN DALAM PASAL 71 SD 82

Dalam UU No 36 tahun 2009 ini,  pembangunan kesehatan harus memperhatikan berbagai asas yang memberikan arah pembangunan kesehatan dan dilaksanakan melalui upaya kesehatan sebagai berikut:
·         Asas perikemanusiaan, artinya bahwa pembangunan kesehatan harus dilandasi atas perikemanusiaan yang berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa dengan tidak membedakan golongan agama dan bangsa.
·         Asas keseimbangan, artinya bahwa pembangunan kesehatan harus dilaksanakan antara kepentingan individu dan masyarakat, antara fisik dan mental, serta antara material dan sipiritual.
·         Asas manfaat, artinya bahwa pembangunan kesehatan harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemanausiaan dan perikehidupan yang sehat bagi setiap warga negara.
·         Asas pelindungan, artinya bahwa pembangunan kesehatan harus dapat memberikan pelindungan dan kepastian hukum kepada pemberi dan penerima pelayanan kesehatan.
·         Asas penghormatan terhadap hak dan kewajiban, artinya bahwa pembangunan kesehatan dengan menghormati hak dan kewajiban masyarakat sebagai bentuk kesamaan kedudukan hukum.
·         Asas keadilan, artinya bahwa penyelenggaraan kesehatan harus dapat memberikan pelayanan yang adil dan merata kepada semua lapisan masyarakat dengan pembiayaan yang terjangkau.
·         Asas gender dan nondiskriminatif, artinya bahwa pembangunan kesehatan tidak membedakan perlakuan terhadap perempuan dan laki-laki.
·         Asas norma agama, artinya pembangunan kesehatan harus memperhatikan dan menghormati serta tidak membedakan agama yang dianut masyarakat.
A.   Isi Pasal 71-82
Bagian Keenam
Kesehatan Reproduksi
Pasal 71
(1)  Kesehatan reproduksi merupakan keadaan sehat secara fisik, mental, dan sosial secara utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan yang berkaitan dengan sistem, fungsi, dan proses reproduksi pada lakilaki dan perempuan.
(2)  Kesehatan reproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.    saat sebelum hamil, hamil, melahirkan, dan sesudah melahirkan;
b.    pengaturan kehamilan, alat konstrasepsi, dan kesehatan seksual; dan
c.    kesehatan sistem reproduksi.
(3)  Kesehatan reproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan melalui kegiatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.
Pasal 72
Setiap orang berhak:
a.       menjalani kehidupan reproduksi dan kehidupan seksual yang sehat, aman, serta bebas dari paksaan dan/atau kekerasan dengan pasangan yang sah.
b.      menentukan kehidupan reproduksinya dan bebas dari diskriminasi, paksaan, dan/atau kekerasan yang menghormati nilai-nilai luhur yang tidak merendahkan martabat manusia sesuai dengan norma agama.
c.       menentukan sendiri kapan dan berapa sering ingin bereproduksi sehat secara medis serta tidak bertentangan dengan norma agama.
d.      memperoleh informasi, edukasi, dan konseling mengenai kesehatan reproduksi yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan.
Pasal 73
Pemerintah wajib menjamin ketersediaan sarana informasi dan sarana pelayanan kesehatan reproduksi yang aman, bermutu, dan terjangkau masyarakat, termasuk keluarga berencana.
Pasal 74
(1)  Setiap pelayanan kesehatan reproduksi yang bersifat promotif, preventif, kuratif, dan/atau rehabilitatif, termasuk reproduksi dengan bantuan dilakukan secara aman dan sehat dengan memperhatikan aspek-aspek yang khas, khususnya reproduksi perempuan.
(2)  Pelaksanaan pelayanan kesehatan reproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tidak bertentangan dengan nilai agama dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3)  Ketentuan mengenai reproduksi dengan bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 75
(1)  Setiap orang dilarang melakukan aborsi.
(2)  Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan berdasarkan:
a.       indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau
b.      kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan.
(3)  Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang.
(4)  Ketentuan lebih lanjut mengenai indikasi kedaruratan medis dan perkosaan, sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 76
Aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 hanya dapat dilakukan:
a.    sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis;
b.    oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri;
c.    dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan;
d.    dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan
e.    penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 77
Pemerintah wajib melindungi dan mencegah perempuan dari aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dan ayat (3) yang tidak bermutu, tidak aman, dan tidak bertanggung jawab serta bertentangan dengan norma agama dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Ketujuh
Keluarga Berencana
Pasal 78
(1)  Pelayanan kesehatan dalam keluarga berencana dimaksudkan untuk pengaturan kehamilan bagi pasangan usia subur untuk membentuk generasi penerus yang sehat dan cerdas.
(2)  Pemerintah bertanggung jawab dan menjamin ketersediaan tenaga, fasilitas pelayanan, alat dan obat dalam memberikan pelayanan keluarga berencana yang aman, bermutu, dan terjangkau oleh masyarakat.
(3)  Ketentuan mengenai pelayanan keluarga berencana dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundangundangan.
Bagian Kedelapan
Kesehatan Sekolah
Pasal 79
(1)   Kesehatan sekolah diselenggarakan untuk meningkatkan kemampuan hidup sehat peserta didik dalam lingkungan hidup sehat sehingga peserta didik dapat belajar, tumbuh, dan berkembang secara harmonis dan setinggitingginya menjadi sumber daya manusia yang berkualitas.
(2)   Kesehatan sekolah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan melalui sekolah formal dan informal atau melalui lembaga pendidikan lain.
(3)   Ketentuan mengenai kesehatan sekolah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kesembilan
Kesehatan Olahraga
Pasal 80
(1)  Upaya kesehatan olahraga ditujukan untuk meningkatkan kesehatan dan kebugaran jasmani masyarakat.
(2)  Peningkatan derajat kesehatan dan kebugaran jasmani masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan upaya dasar dalam meningkatkan prestasi belajar, kerja, dan olahraga.
(3)  Upaya kesehatan olahraga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui aktifitas fisik, latihan fisik, dan/atau olahraga.
Pasal 81
(1)  Upaya kesehatan olahraga lebih mengutamakan pendekatan preventif dan promotif, tanpa mengabaikan pendekatan kuratif dan rehabilitatif.
(2)  Penyelenggaraan upaya kesehatan olahraga diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.
B.   Penjelasan Pasal
Penjelasan mengenai pasal 71 – 81 adalah cukup jelas, namun ada beberapa pasal yang memerlukan penjelasan lebih lanjut yaitu
1.    Pasal 75 ayat 3: Yang dimaksud dengan “konselor” dalam ketentuan ini adalah setiap orang yang telah memiliki sertifikat sebagai konselor melalui pendidikan dan pelatihan. Yang dapat menjadi konselor adalah dokter, psikolog, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan setiap orang yang mempunyai minat dan memiliki keterampilan untuk itu, dan
2.    Pasal 77: Yang dimaksud dengan praktik aborsi yang tidak bermutu, tidak aman, dan tidak bertanggung jawab adalah aborsi yang dilakukan dengan paksaan dan tanpa persetujuan perempuan yang bersangkutan, yang dilakukan oleh tenaga kesehatan yang tidak profesional, tanpa mengikuti standar profesi dan pelayanan yang berlaku, diskriminatif, atau lebih mengutamakan imbalan materi dari pada indikasi medis.
C.   Masalah Dasar (Tertulis dan Tersirat)
Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tercantum jelas cita-cita bangsa Indonesia yang sekaligus merupakan tujuan nasional bangsa Indonesia. Tujuan nasional tersebut adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaanperdamaian abadi serta keadilan sosial. Untuk mencapai tujuan nasional tersebut diselenggarakanlah upaya pembangunan yangberkesinambungan yang merupakan suatu rangkaian pembangunan yang menyeluruh terarah dan terpadu, termasuk di antaranya pembangunan kesehatan. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 
Berdasarkan UU Kesehatan No. 36 Tahun 2009 kesehatan reproduksi walaupun aborsi masih menjadi masalah kontroversial di masyarakat, WHO memperkirakan 10-50% kematian ibu disebabkan oleh aborsi. Penggunaan sel puncak embrionik atau Embryonic Stem Cell (ESC) merupakan salah satu alternatif pengobatan dengan kemungkinan sukses tinggi yang sangat kontroversial. Di Indonesia, meski telah mendapat banyak perhatian, aturan hukum mengenai ESC belum ditetapkan secara tegas.

1.    Macam
Masalah kebijakan (policy problem) adalah nilai kebutuhan, atau kesempatan yang belum terpenuhi, yang dapat dididentifikasi, untuk kemudian diprediksi atau dicapai melalui tindakan publik. Adapun masalah dalam upaya kesehatan reproduksi di Indonesia adalah aturan yang antara UUK dan PP mengenai kesehatan reproduksi mengenai perlindungan/pencegahan masalah kesehatan reproduksi yang kemudian memunculkan adanya perbedaan perlakuan antara wanita yang telah menikah dan belum menikah. Lebih lanjut pula dibahas kebijakan mengenaikasus aborsi.

2.    Nilai
Setiap kebijakan mengandung nilai tertentu dan juga bertujuan untuk menciptakan norma baru dalam organisasi. Nilai yang ada di masyarakat atau anggota organisasi berbeda dengan nilai yang ada di pemerintah. Oleh karena itu perlu partisipasi dan komunikasi yang intens pada saat merumuskan kebijakan.
a.    Nilai keadilan: Upaya kesehatan reproduksi sebagaimana yang tercantum dalam pasal ini bahwa setiap tindakan harus dilakukan oleh tenaga kesehatan untuk menjamin keamanan dalam melakukan upaya penyembuhan dan pemulihan begitu pula dengan kesehatan reproduksi yang di dalamnya berisi aturan mengenai izin aborsi apabila kehamilan menimbulkan dampak negatif baik pada ibu maupun janin.
b.    Nilai ekonomis dalam upaya kesehatan reproduksi sebagaimana yang tercantum dalam pasal ini dilakukan untuk mengembalikan status kesehatan, melindungi dan mencegah perempuan dari aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dan ayat (3) yang tidak bermutu, tidak aman, dan tidak bertanggung jawab serta bertentangan dengan norma agama dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
c.    Nilai manfaat: pemerintah menjamin upaya kesehatan reproduksi sebagaimana yang tercantum dalam pasal ini berpihak pada masyarakat dan upaya tersebut dalam rangka untuk melindungi dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
3.    Karakteristik
a.    Upaya.
Upaya kesehatan reproduksi

4.    Aktor
Dalam upaya kesehatan reproduksi, mereka yang merupakan penentu kebijakan di tingkat pusat dan daerah; pemangku kepentingan baik ditingkat pusat dan daerah; tenaga kesehatan sebagai pemberi pelayanan, masyarakat sebagai pengguna layanan serta organisasi sosial masyarakat dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat adalah actor atau advokat yang termasuk dalam kebijakan ini. Oleh karena itu, kerjasama baik dari pemerintah, tenaga kesehatan dan masyarakat mengenai masalah kesehatan tersebut harus ditanamkan dan menjadi tanggung jawab bersama untuk mencapai manfaat dari kebijakan tersebut.
 
5.    Isu Publik
Dalam UUK juga mengatur mengenai aborsi yang aman untuk dilakukan tetapi pada praktiknya masih banyak tindakan aborsi tidak dilakukan oleh tenaga kesehatan. Misalnya, orang yang memilih ke dukun untuk melakukan aborsi padahal tindakan tersebut tentu saja tidak menjamin keamanan dan timbulnya dampak-dampak negative.
D.   Kajian Kebijakan
Tujuan yang ingin dicapai dalam penyusunan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 ialah Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis. Oleh karena itu, kami mencoba untuk merumuskan kebijakan kesehatan reproduksi yang ada di Indonesia.
1.    Kebijakan Umum Kesehatan Reproduksi yaitu :
a.    Menempatkan upaya reproduksi menjadi salah satu prioritas Pembangunan Nasional
b.    Melaksanakan percepatan upaya kesehatan reproduksi dan pemenuhan hak reproduksi ke seluruh Indonesia
c.    Melaksanakan upaya kesehatan reproduksi secara holistik dan terpadu melalui pendekatan siklus hidup
d.    Menggunakan pendekatan keadilan dan kesetaraan gender di semua upaya kesehatan reproduksi
e.    Menyediakan pelayanan kesehatan reproduksi berkualitas bagi keluarga miskin
2.    Strategi Umum
a.    Menempatkan dan memfungsikan Komisi Kesehatan Reprosuksi (KKR) pada tingkat Menteri Koordinator serta membentuk KKR di provinsi dan kabupaten/kota.
b.    Mengupayakan terbitnya peraturan perundangan di bidang kesehatan reproduksi
c.    Meningkatkan advokasi, sosialisasi, dan komitmen politis di semua tingkat.
d.    Mengupayakan kecukupan anggaran/dana pelaksanaan kesehatan reproduksi
e.    Masing-masing penanggungjawab komponen mengembangkan upaya kesehatan reproduksi sesuai ruang lingkupnya dengan menjalin kemitraan dengan sektor terkait, organisasi profesi dan LSM.
f.     Masing-masing komponen membuat rencana aksi mengacu pada kebijakan yang telah ditetapkan
g.    Mengembangkan upaya kesehatan reproduksi yang sesuai dengan masalah spesifik daerah dan kebutuhan setempat, dengan memanfaatkan proses desentralisasi.
h.    Memobilisasi sumber daya nasional dan internasioanl baik pemerintah dan non pemerintah
i.      Menyediakan pembiayaan pelayanan KR melalui skema Jaminan Sosial Nasional
j.      Melakukan penelitian untuk pengembangan upaya KR
k.    Menerapkan Pengarus-utama Gender dalam bidang KR
l.      Melaksanakan pemantauan dan evaluasi untuk kemajuan upaya KR.
3.    Kebijakan dan Strategi Komponen
a.      Kebijakan Kesehatan Ibu dan Anak
1)    Setiap ibu menjalani kehamilan dan persalinan dengan sehat dan selamat serta bayi lahir sehat
2)    Setiap anak hidup sehat, tumbuh dan berkembang secara optimal
b.      Strategi Kesehatan ibu dan anak
1)      Pemberdayaan perempuan,suami dan keluarga
a)    Peningkatan pengetahuan tentang tanda bahaya kehamilan, persalinan, nifas bayi dan balita (health seeking care)
b)    Penggunaan buku KIA
c)    Konsep SIAGA (siap, Antar,Jaga)
d)    Penyediaan dana, transportasi, donor darah untuk keadaan darurat
e)    Peningkatan penggunaan ASI eksklusif
2)      Pemberdayaan Masyarakat
3)      Kerjasama lintas sektor, mitra lain termasuk pemerintah daerah dan lembaga legislatif.
a)    Advokasi  dan sosialisasi ke semua stakeholders
b)    Mendorong adanya komitmen, dukungan, peraturan, dan kontribusi pembiayaan dari berbagai pihak terkait.
c)    Peningkatan keterlibatan LSM, organisasi profesi, swasta, dan sebagainya.
4)      Peningkatan cakupan dan kualitas pelayanan kesehatan ibu dan anak secara terpadu dengan komponen KR lain.
a)    Pelayanan antenatal
b)    Pertolongan persalinan, pelayanan nifas dan neonatal esensial.
c)    Penanganan kegawatdaruratan obstetrik dan neonatal
d)    Pencegahan kehamilan yang tidak diinginkan dan penanganan komplikasi pascakeguguran
e)    Manajemen terpadu Bayi Muda dan Balita sakit
f)     Pembinaan tumbuh kembang anak
g)    Peningkatan keterampilan tenaga kesehatan dan pemenuhan kelengkapan sarananya
h)   Mengoptimalkan pemanfaatan fasilitas pelayanan2
c.       Kebijakan Keluarga Berencana
1)      Memaksimalkan akses dan kualitas pelayaan KB
2)      Mengintegrasikan pelayanan Keluarga Berencana dengan pelayanan lain dalam komponen kesehatan reproduksi
3)      Jaminan pelayanan KB bagi orang miskin
4)      Terlaksananya mekanisme operasional pelayanan
5)      Meningkatnya peran serta LSM, swasta dan organisasi profesi
6)      Tersedianya informasi tentang program KB bagi remaja
7)      Terjadinya pemanfaatan data untuk pelayanan
d.      Srtategi Keluarga Berencana
1)     Prinsip integrasi artinya dalam pelaksanaanya tidak hanya bernuansa demografis tapi juga mengarah pada upaya meningkatkan kesehatan reproduksi yang dalam pelaksanaanya harus memperhatikan hak-hak reproduksi serta kesetaraan dan keadilan gender
2)     Prinsip Desentralisasi, kebijakan pelayanan program keluarga berencana perlu menyesuaikan dengan perubahan lingkungan institusi daerah dengan UU No. 22 tahun 1999 dan PP No. 25 tahun 2000
3)     Prinsip pemberdayaan, dengan ditingkatkannya kualitas kepemimpinan dan kapasitas pengelola dan pelaksana program nasioanal KB dengan memberdayakan institusi masyarakat, keluarga dan individu dalam rangka meningkatkan kemandirian.
4)     Prinsip kemitraan, meliputi koordinasi dalam rangka kemitraan yang tulus dan setara serta meningkatkan partisipasi aktif masyarakat dan kerjasama internasional
5)     Prinsip segmentasi sasaran, meliputi keberpihakan pada keluarga rentan, perhatian khusus pada segmen tertentu berdasarkan ciri-ciri demografis, sosial, budaya dan ekonomi dan keseimbangan dalam memfokuskan partisipasi dan pelayanan menurut gender

Kriteria  kebijakan dalam pasal dalam Pasal 79 adalah keadilan dengan  menekankan pada aspek penyelenggaraan kesehatan sekolah melalui sekolah formal dan informal atau melalui lembaga pendidikan lain untuk meningkatkan kemampuan hidup sehat peserta didik dalam lingkungan hidup yang sehat.  Ketentuan mengenai kesehatan sekolah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Tipe pendekatan yang digunakan dalam pasal ini adalah pendekatan prediktif, dengan diberlakukannya kebijakan ini diharapkan penyelenggaraan kesehatan sekolah meningkatkan perilaku hidup sehat peserta didik dalam lingkungan hidup yang sehat agar terbentuk sumber daya manusia yang berkualitas.
Kriteria  kebijakan dalam pasal 80 ini adalah keadilan dengan  menekankan pada aspek penyelenggaraan kesehatan olah raga melalui sekolah formal dan  informal, segenap instansi pemerintah maupun swasta untuk meningkatkan kemampuan hidup sehat peserta didik dalam lingkungan hidup yang sehat.  Ketentuan mengenai olah raga ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Tipe pendekatan yang digunakan dalam pasal ini adalah pendekatan prediktif, dengan diberlakukannya kebijakan ini diharapkan penyelenggaraan kesehatan olah raga meningkatkan perilaku hidup sehat peserta dalam lingkungan hidup yang sehat agar terbentuk sumber daya manusia yang berkualitas.
Kriteria kebijakan pasal 81 dan 82 adalah tersedianya fasilitas layanan, tenaga kesehatan, obat yang dibutuhkan dalam program penanggulangan bencana serta peran pemerintah dalam meningkatkan peran masyarakat untuk ikut berpartisi pasi dalam penanggulangan bencana
Pelaksanaan pasal ini menggunakan pendekatan struktural dimana ada lembaga khusus yang menangani masalah keluarga berencana yakni BNPB dengan kerja sama dengan Dinas kesehatan. Promosi program dilakukan di masyarakat melalui para tenaga kesehatan.
E.   Pasal yang bermasalah
Suatu kebijakan diformulasikan untuk mengatasi ataupun mencegah timbulnya masalah, khususnya masalah yang bersifat isu publik. Masalah disebut sebagai isu publik manakala masalah itu menjadi keprihatinan (concern) masyarakat luas dan mempengaruhi hajat hidup masyarakat luas.
1.    Pasal 75 (ayat 1 dan 2)
1)    Setiap orang dilarang melakukan aborsi.
2)    Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapatdikecualikan berdasarkan:
a.       Indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usiadini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibudan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidakdapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebuthidup di luar kandungan; atau
b.      Kehamilan akibat perkosaan yang dapatmenyebabkan trauma psikologis bagi korbanperkosaan
2.    Pasal 76
Aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 hanya dapat dilakukan sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis.











BAB II
KONSEKUENSI DAN RESISTENSI
A.   Perilaku yang Muncul (Positif dan Negatif)
Dengan adanya Undang-Undang No.36 Tahun 2009 bab VI bagian kelima mengenai upaya kesehatan dalam hal ini upaya penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan, bagian keenam mengenai kesehatan reproduksi menunjukkan bahwa tingginya tingkat perhatian pemerintah terhadap peningkatan derajat kesehatan di Indonesia. Dengan adanya Undang-Undang tersebut memberikan perubahan paradigma baru yaitu paradigm sehat yang berarti bahwa lebih promosi dan pencegahan kesehatan tanpa melupakan kuratif dan rehabilitatif. Ini memberikan indikasi bahwa dengan adanya paradigm seperti itu akan merubah perilaku masyarakat dan akan mengurangi angka kesakitan dan kematian.
Ada 2 perilaku berlawanan yang diperkirakan akan muncul sebagai konsekuensi bila UU Kesehatan ini diberlakukan.
1.  Perilaku Positif
Dengan berlakunya kebijakan ini, tentu memberikan peluang pada penderita penyakit untuk sembuh. Kesehatan reporoduksi terutama tindakan aborsi akan memberikan perlindungan kepada mereka yang melakukan tindakan tersebut. Selain itu, pemerintah baik pemerintah pusat maupun daerah, masyarakat, swasta sebagai pelaksana akan lebih dituntut eksistensinya terhadap upaya penyembuhan dan pemulihan kesehatan serta kesehatan reproduksi sehingga dalam melaksanakan kebijakan tersebut dilakukan secara berkesinambungan dan termanfaatkan sesuai dengan ketentuan dalam kebijakan yang telah ditetapkan.
2.  Perilaku Negatif
Kebijakan tidak hanya memberikan dampak positif tetapi juga mempunyai dampak negatif. Dengan adanya kebijakan tersebut masyarakat kemudian menerima aborsi dapat dilakukan namun banyak yang menyalahgunakan kebijakan ini. Hal ini dapat dilihat dengan semakin banyaknya tindakan aborsi yang sengaja dilakukan hanya untuk menutup aib akibat pergaulan yang salah. Dengan berlakunya kebijakan ini pemerintah maupun pelaksana lain diberikan kekuasaan untuk memanajemenkan upaya pencegahan kesehatan sesuai dengan apa yang telah ditentukan dalam kebijakan, namun seringkali terdapat adanya penyalahgunaan wewenang yang diperuntukkan untuk kesehatan masyarakat dalam hal ini adanya tindakan disparitas dalam pelayanan kesehatan masyarakat.
B.   Resistensi
a.    Bentuk
Resistensi terhadap kebijakan dalam upaya kesehatan reproduksi ditunjukkan dengan :
1)    Argumentatif: berupa pernyataan yang berlawanan dengan kebijakan yang diterapkan dengan pelaksana kewenangan.
2)    Afeksi : berupa ketidaksetujuannya terhadap kepengurusan yang ada sekarang, sehingga ada keinginan untuk merestrukturisasi kepengurusan kewenangan baru
3)    Penyimpangan: ditunjukkan dengan adanya segilintir pelaksana kewenangan yang berencana untuk untuk keluar dan membentuk suatu instansi kewenangan baru. Hal ini tidak hanya terjadi pada pemerintah, tetapi dimanfaatkan oleh orang-orang yang merupakan masyarakat umum yang tidak sesuai dengan aturan yang berlaku.
b.    Aktor
Penentu kebijakan di tingkat pusat dan daerah, pemangku kepentingan baik ditingkat pusat dan daerah, penyandang dana atau donor dana serta organisasi sosial masyarakat dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat.
c.    Sumber
Lobi polotik, debat, dialog, negosiasi, petisi/resolusi, mobilisasi serta penggunaan media masa.
C.   Masalah Baru yang Timbul
Masalah baru dapat timbul dari sebuah kebijakan. Masalah tersebut dapat berupa masalah yang hanya membutuhkan penanganan kecil atau sebaliknya masalah tersebut bisa lebih serius dan mesti dikaji lebih kritis.
Pada kebijakan mengenai kasus aborsi, berdasarkan perkiraan dari BKBN, ada sekitar 2.000.000 kasus aborsi yang terjadi setiap tahunnya di Indonesia. Perempuan masih berada pada pihak yang tidak otonom dan diskriminatif atas tubuhnya sepenuhnya mengingat aborsi harus dengan persetujuan suami bagi yang telah menikah. Hilangnya jaminan hukum yang sifatnya individual seperti pada pasal 72. Selain itu, pencegahan kesehatan reproduksi bagi perempuan dewasa yang lajang tidak diakomodir karena dalam prakteknya papsmear mensyaratkan harus sudah menikah. Hal tersebut tentu tidak sejalan dengan upaya pencegahan terkait kesehatan reproduksi yang harus dilakukan sejak dini dan secepat mungkin dalam rangka mendukung tercapainya upaya kesehatan reproduksi.



BAB III
PREDIKSI KEBERHASILAN

A.   Prediksi “Trade Off”
Pemerintah, masyarakat, swasta harus menjadi pelaksana kebijakan yang berperan dalam penentuan status kemajuan dan kegunaan kebijakan terhadap kesehatan yang ditujukan untuk pelayanan kesehatan di bidang pelayanan publik, terutama bagi penduduk miskin, kelompok lanjut usia, dan anak terlantar. Dengan dijalankan secara benar sesuai dengan UU, maka akan meningkatkan kualitas pelayanan dan fasilitas kesehatan yang berdampak pada peningkatan kesehatan masyarakat.
Pada kebijakan mengenai aborsi, prediksi keberhasilan pemeriksaan kesehatan yang hanya dilakukan pada wanita yang sudah menikah. Hal ini dapat  memberikan peluang terjadinya penyakit kesehatan reproduksi bagi remaja putri. Namun, disisi lain dapat memberikan upaya kesehatan langsung pada sasaran (ibu hamil)

B.   Prediksi Keberhasilan
Prediksi Kebijakan merupakan upaya untuk memperkirakan berhasil tidaknya kebijakan yang telah dibuat oleh Pemerintah RI dalam bidang kesehatan pada saat/dimulai sekarang sampai 3-5 tahun kedepan. Prediksi keberhasilan kebijakan ini dapat dilihat dari gambaran pembangunan kesehatan yang telah dicapai 1-3 tahun terakhir. Gambaran pembangunan kesehatan dapat dilihat dari beberapa kategori status kelangsungan hidup, status kesehatan dan status pelayanan kesehatan.
Dengan adanya kebijakan mengenai upaya penyembuhan dan pemulihan kesehatan serta upaya kesehatan reproduksi serta sanksi jika terjadi pelanggaran terhadap kebijakan tersebut akan mencegah terjadinya aborsi. Untuk mengukur keberhasilan dapat dilihat adanya : Peraturan Perundangan, Surat Keputusan, Edaran, Instruksi, himbauan dan dukungan termasuk sarana dan tenaga; adanya anggaran dari APBD atau sumber lain; adanya jadwal koordinasi dan pemantauan kegiatan; kemampuan pengambilan keputusan dalam menjelaskan setiap kegiatan; serta terbentuknya dan berfungsinya forum masyarakat





























BAB IV
PENUTUP

A.   Kesimpulan
Kebijakan Kesehatan Reproduksi di Indonesia merupakan Kesehatan reproduksi perempuan terkait dengan berbagai hal sebagai berikut :
1.  Kebijakan kependudukan
2.  Muncul dan berkembangnya penyakit HIV/AIDS dan PMS (penyakit menular  seksual) lainnya
3.  Kecenderungan aktivitas seksual pada usia yang semakin muda

B.   Rekomendasi
1.    Kajian kritis tetap diperlukan agar undang-undang nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan. Kebutuhan nyata masyarakat harus menjadi prioritas sehingga menjadi undang-undang yang lahir berdasarkan respon kebutuhan dan isu strategis yang berkembang di masyarakat.
2.    Perlu ada kebijakan khusus yang mengatur sanksi yang lebih konkrit dan logis dalam hal pengamanan aborsi sehingga tidak muncul adanya multitafsir dalam implementasinya
3.    Rumah sakit pemerintah seharusnya menjadi Badan Layanan Umum (BLU) yang melayani masyarakat dengan subsidi besar dari pemerintah, bukannya mengikuti tren globalisasi kesehatan.
Mekanisme mediasi harus dikembangkan untuk menciptakan win win solution. Sebab, faktanya kondisi/posisi pasien sangat lemah. Kondisi yang rusak itu perlu di-restorative justice untuk memperbaiki kesalahan. Dokter dan pasien sama-sama mendapatkan keuntungan (perlindungan). Jika mekanisme mediasi tak bisa menyelesaikan, baru sanksi pidana yang menyelesaikan sebagai ultimum remedium (upaya terakhir)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar