Rangkuman
Eksekutif
Dalam
pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tercantum jelas cita-cita bangsa Indonesia
yang sekaligus merupakan tujuan nasional bangsa Indonesia. Tujuan nasional
tersebut adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan
ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan perdamaian
abadi serta keadilan sosial. Untuk mencapai tujuan nasional tersebut
diselenggarakanlah upaya pembangunan yang berkesinambungan yang merupakan suatu
rangkaian pembangunan yang menyeluruh terarah dan terpadu, termasuk di
antaranya pembangunan kesehatan yang diimplementasikan dalam Undang-Undang
No.36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Dalam paper ini kami mencoba
untuk membahas beberapa pasal dalam UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan yang
berisi kebijakan tentang kesehatan reproduksi.
Beberapa kebijakan yang
berkaitan dengan kesehatan reproduksi telah disusun dan diimplementasikan salah
satu diantaranya adalah UU Kependudukan dan Kesejahteraan Keluarga Nomor 52
Tahun 2009 meskipun masih banyak aspek
atau isu yang belum mendapat perhatian secara penuh. Berbagai faktor diduga
ikut berpengaruh terhadap upaya peningkatan perhatian terhadap isu-isu yang
berhubungan dengan kebijakan mengenai kesehatan reproduksi.
Kesehatan reproduksi
merupakan salah satu determinan penting pencapaian tujuan pembangunan
kependudukan dan kesehatan di Indonesia. Angka Kematian Ibu (AKI), perkawinan
usia dini, dan angka fertilitas total (Total Fertility Rate atau TFR)
merupakan sebagian indikator yang menunjukkan pentingnya peran kebijakan
kesehatan reproduksi tersebut.
Dewasa ini, bermunculan
permasalahan kesehatan yang timbul sebagai akibat dari tindakan malpraktik
(kelalaian medik) misalnya meningkatnya kasus aborsi, tidak adanya perhatian
yang khusus pada keluarga berncana menyebabkan angka penduduk makin meningkat
serta pentingnya masalah transfusi darah
sehingga diperlukan perhatian penting melalui upaya atau membuat
kebijakan untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan terhadap tindak pidana
malpraktik sebagai bentuk upaya perlindungan terhadap pasien dan tenaga
kesehatan itu sendiri.
Tujuan yang
ingin dicapai dalam penyusunan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 ialah Pembangunan
kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup
sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang
setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang
produktif secara sosial dan ekonomis.
Dengan adanya Undang-Undang tersebut sebagai pendekatan dalam kebijakan memberikan
perubahan paradigma baru yaitu paradigma sehat yang berarti bahwa lebih promosi
dan pencegahan kesehatan tanpa melupakan kuratif dan rehabilitatif. Ini
memberikan indikasi bahwa dengan adanya paradigma seperti itu akan merubah
perilaku masyarakat dan akan mengurangi angka kesakitan dan kematian.
Dengan melihat Undang-Undang No36 tahun 2009 pada Pasal 77 , bisa disimpulkan bahwa larangan untuk melakukan aborsi yang dapat membahayakan kesehatan bagi yang melakukannya serta melanggar pertauran agama yang mengatakan aborsi itu haram.
Prediksi Kebijakan merupakan
upaya untuk memperkirakan berhasil tidaknya kebijakan yang telah dibuat oleh Pemerintah
RI dalam bidang kesehatan pada saat/dimulai sekarang sampai 3-5
tahun kedepan. Prediksi keberhasilan kebijakan ini dapat dilihat dari gambaran
pembangunan kesehatan yang telah dicapai 1-3 tahun terakhir. elaksanaan
Pembangunan Kesehatan selama beberapadasawarsa maka derajat kesehatan
masyarakat Indonesia telahmeningkat secara bermakna. Namun disparitas derajat
kesehatanmasyarakat antar kawasan, antar kelompok masyarakat, danantar tingkat
sosial ekonomi masih dijumpai. Peningkatan derajat kesehatan dari tahun ke
tahun bukan hanya disebabkan karena terbentuknya Undang-Undang No.36 Tahun
2009, tapi merupakan hasil dari kinerja semua sector yang terkait dalam bidang
kesehatan. Sebuah aturan tidak akan bermakna jika tidak ada aplikasi yang
dilakukan oleh para pelaku Undang-Undang.
Asas Undang-Undang No.36 Tahun 2009 ialah Pembangunan kesehatan
diselenggarakan dengan berasaskan perikemanusiaan, keseimbangan, manfaat,
pelindungan, penghormatan terhadap hak dan kewajiban, keadilan, gender dan
nondiskriminatif dan norma-norma agama, Undang-Undang
No.23 Tahun 1992 dengan paradigma sakit kemudian diubah menjadi paradigm sehat
pada Undang-Undang No. 36 Tahun 2009, Kesehatan
merupakan hak asasi manusia jadi setiap manusia berhak memperoleh pelayanan
kesehatan tanpa diskriminasi
DAFTAR
ISI
Halaman
RINGKASAN
EKSEKUTIF ................................................................................. 2
DAFTAR
ISI............................................................................................................ 5
BAB
I KAJIAN KEBIJAKAN ............................................................................... 6
A. Isi
Pasal 71-82........................................................................................... 7
B. Penjelasan
Pasal...................................................................................... 10
C. Masalah
Dasar.......................................................................................... 11
D. Penjelasan
Pasal...................................................................................... 10
E. Kajian
Kebijakan....................................................................................... 14
F. Pasal
yang Bermasalah........................................................................... 19
G. Penjelasan
Pasal...................................................................................... 10
BAB
II KONSEKUENSI DAN RESISTENSI..................................................... 20
A. Perilaku
Yang Muncul............................................................................. 20
B. Resistensi................................................................................................... 22
C. Masalah
Baru Yang Timbul..................................................................... 23
BAB
III PERDIKSI KEBERHASILAN................................................................. 24
A. Prediktif
“Trade Off”................................................................................... 24
B. Prediksi
Keberhasilan.............................................................................. 24
BAB
IV KESIMPULAN DAN REKOMENDASI................................................. 26
A. Kesimpulan................................................................................................ 26
B. Rekomendasi............................................................................................. 26
DAFTAR
PUSTAKA
BAB
I
KAJIAN
KEBIJAKAN DALAM PASAL 71 SD 82
Dalam
UU No 36 tahun 2009 ini, pembangunan
kesehatan harus memperhatikan berbagai asas yang memberikan arah pembangunan
kesehatan dan dilaksanakan melalui upaya kesehatan sebagai berikut:
·
Asas perikemanusiaan,
artinya bahwa pembangunan kesehatan harus
dilandasi atas perikemanusiaan yang berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa
dengan tidak membedakan golongan agama dan bangsa.
·
Asas keseimbangan,
artinya bahwa
pembangunan kesehatan harus
dilaksanakan antara kepentingan individu dan masyarakat, antara fisik dan
mental, serta antara material dan sipiritual.
·
Asas manfaat,
artinya bahwa pembangunan kesehatan harus memberikan
manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemanausiaan dan perikehidupan yang sehat
bagi setiap warga negara.
·
Asas pelindungan,
artinya bahwa pembangunan kesehatan harus
dapat memberikan pelindungan dan kepastian hukum kepada pemberi dan penerima
pelayanan kesehatan.
·
Asas penghormatan
terhadap hak dan kewajiban, artinya bahwa
pembangunan kesehatan dengan menghormati hak dan kewajiban masyarakat sebagai
bentuk kesamaan kedudukan hukum.
·
Asas keadilan,
artinya bahwa penyelenggaraan kesehatan harus
dapat memberikan pelayanan yang adil dan merata kepada semua lapisan masyarakat
dengan pembiayaan yang terjangkau.
·
Asas gender
dan nondiskriminatif,
artinya bahwa pembangunan kesehatan
tidak membedakan perlakuan terhadap perempuan dan laki-laki.
·
Asas norma agama,
artinya pembangunan kesehatan harus
memperhatikan dan menghormati serta tidak
membedakan agama yang dianut masyarakat.
A.
Isi
Pasal 71-82
Bagian
Keenam
Kesehatan
Reproduksi
Pasal
71
(1) Kesehatan
reproduksi merupakan keadaan sehat secara fisik, mental, dan sosial secara
utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan yang berkaitan
dengan sistem, fungsi, dan proses reproduksi pada lakilaki dan perempuan.
(2) Kesehatan
reproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.
saat sebelum hamil, hamil, melahirkan, dan
sesudah melahirkan;
b.
pengaturan kehamilan, alat konstrasepsi, dan
kesehatan seksual; dan
c.
kesehatan sistem reproduksi.
(3) Kesehatan
reproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan melalui kegiatan
promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.
Pasal
72
Setiap
orang berhak:
a.
menjalani kehidupan reproduksi dan kehidupan
seksual yang sehat, aman, serta bebas dari paksaan dan/atau kekerasan dengan
pasangan yang sah.
b.
menentukan kehidupan reproduksinya dan bebas
dari diskriminasi, paksaan, dan/atau kekerasan yang menghormati nilai-nilai
luhur yang tidak merendahkan martabat manusia sesuai dengan norma agama.
c.
menentukan sendiri kapan dan berapa sering
ingin bereproduksi sehat secara medis serta tidak bertentangan dengan norma
agama.
d.
memperoleh informasi, edukasi, dan konseling
mengenai kesehatan reproduksi yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan.
Pasal
73
Pemerintah wajib menjamin
ketersediaan sarana informasi dan sarana pelayanan kesehatan reproduksi yang
aman, bermutu, dan terjangkau masyarakat, termasuk keluarga berencana.
Pasal
74
(1) Setiap
pelayanan kesehatan reproduksi yang bersifat promotif, preventif, kuratif,
dan/atau rehabilitatif, termasuk reproduksi dengan bantuan dilakukan secara
aman dan sehat dengan memperhatikan aspek-aspek yang khas, khususnya reproduksi
perempuan.
(2) Pelaksanaan
pelayanan kesehatan reproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan tidak bertentangan dengan nilai agama dan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(3) Ketentuan
mengenai reproduksi dengan bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal
75
(1) Setiap
orang dilarang melakukan aborsi.
(2) Larangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan berdasarkan:
a. indikasi
kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam
nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat
bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut
hidup di luar kandungan; atau
b. kehamilan
akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban
perkosaan.
(3) Tindakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah melalui
konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca
tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang.
(4) Ketentuan
lebih lanjut mengenai indikasi kedaruratan medis dan perkosaan, sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal
76
Aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75
hanya dapat dilakukan:
a.
sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu
dihitung dari hari pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis;
b.
oleh tenaga kesehatan yang memiliki
keterampilan dan kewenangan yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh
menteri;
c.
dengan persetujuan ibu hamil yang
bersangkutan;
d.
dengan izin suami, kecuali korban perkosaan;
dan
e.
penyedia layanan kesehatan yang memenuhi
syarat yang ditetapkan oleh Menteri.
Pasal
77
Pemerintah wajib melindungi dan mencegah
perempuan dari aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dan ayat (3)
yang tidak bermutu, tidak aman, dan tidak bertanggung jawab serta bertentangan
dengan norma agama dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian
Ketujuh
Keluarga
Berencana
Pasal
78
(1) Pelayanan
kesehatan dalam keluarga berencana dimaksudkan untuk pengaturan kehamilan bagi
pasangan usia subur untuk membentuk generasi penerus yang sehat dan cerdas.
(2) Pemerintah
bertanggung jawab dan menjamin ketersediaan tenaga, fasilitas pelayanan, alat
dan obat dalam memberikan pelayanan keluarga berencana yang aman, bermutu, dan
terjangkau oleh masyarakat.
(3) Ketentuan
mengenai pelayanan keluarga berencana dilaksanakan sesuai dengan peraturan
perundangundangan.
Bagian
Kedelapan
Kesehatan
Sekolah
Pasal
79
(1) Kesehatan
sekolah diselenggarakan untuk meningkatkan kemampuan hidup sehat peserta didik
dalam lingkungan hidup sehat sehingga peserta didik dapat belajar, tumbuh, dan
berkembang secara harmonis dan setinggitingginya menjadi sumber daya manusia
yang berkualitas.
(2) Kesehatan
sekolah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan melalui sekolah
formal dan informal atau melalui lembaga pendidikan lain.
(3) Ketentuan
mengenai kesehatan sekolah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian
Kesembilan
Kesehatan
Olahraga
Pasal
80
(1) Upaya
kesehatan olahraga ditujukan untuk meningkatkan kesehatan dan kebugaran jasmani
masyarakat.
(2) Peningkatan
derajat kesehatan dan kebugaran jasmani masyarakat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) merupakan upaya dasar dalam meningkatkan prestasi belajar, kerja, dan
olahraga.
(3) Upaya
kesehatan olahraga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui
aktifitas fisik, latihan fisik, dan/atau olahraga.
Pasal
81
(1) Upaya
kesehatan olahraga lebih mengutamakan pendekatan preventif dan promotif, tanpa
mengabaikan pendekatan kuratif dan rehabilitatif.
(2) Penyelenggaraan
upaya kesehatan olahraga diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah,
dan masyarakat.
B.
Penjelasan
Pasal
Penjelasan
mengenai pasal 71 – 81 adalah cukup jelas, namun ada beberapa pasal yang
memerlukan penjelasan lebih lanjut yaitu
1. Pasal
75 ayat 3: Yang dimaksud dengan “konselor” dalam ketentuan ini adalah setiap
orang yang telah memiliki sertifikat sebagai konselor melalui pendidikan dan
pelatihan. Yang dapat menjadi konselor adalah dokter, psikolog, tokoh
masyarakat, tokoh agama, dan setiap orang yang mempunyai minat dan memiliki
keterampilan untuk itu, dan
2. Pasal
77: Yang dimaksud dengan praktik aborsi yang tidak bermutu, tidak aman, dan
tidak bertanggung jawab adalah aborsi yang dilakukan dengan paksaan dan tanpa
persetujuan perempuan yang bersangkutan, yang dilakukan oleh tenaga kesehatan
yang tidak profesional, tanpa mengikuti standar profesi dan pelayanan yang
berlaku, diskriminatif, atau lebih mengutamakan imbalan materi dari pada
indikasi medis.
C.
Masalah
Dasar (Tertulis dan Tersirat)
Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tercantum jelas
cita-cita bangsa Indonesia yang sekaligus merupakan tujuan nasional bangsa
Indonesia. Tujuan nasional tersebut adalah melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaanperdamaian abadi serta keadilan sosial. Untuk mencapai
tujuan nasional tersebut diselenggarakanlah upaya pembangunan
yangberkesinambungan yang merupakan suatu rangkaian pembangunan yang menyeluruh
terarah dan terpadu, termasuk di antaranya pembangunan kesehatan. Kesehatan
merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus
diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Berdasarkan UU Kesehatan No. 36 Tahun 2009 kesehatan
reproduksi walaupun aborsi masih menjadi masalah kontroversial di masyarakat,
WHO memperkirakan 10-50% kematian ibu disebabkan oleh aborsi. Penggunaan sel puncak embrionik atau Embryonic
Stem Cell (ESC)
merupakan salah satu alternatif pengobatan dengan kemungkinan sukses tinggi
yang sangat kontroversial. Di Indonesia, meski telah mendapat banyak perhatian,
aturan hukum mengenai ESC belum ditetapkan secara tegas.
1.
Macam
Masalah
kebijakan (policy problem) adalah
nilai kebutuhan, atau kesempatan yang belum terpenuhi, yang dapat
dididentifikasi, untuk kemudian diprediksi atau dicapai melalui tindakan
publik. Adapun masalah dalam upaya kesehatan reproduksi di Indonesia adalah
aturan yang antara UUK dan PP mengenai kesehatan reproduksi mengenai
perlindungan/pencegahan masalah kesehatan reproduksi yang kemudian memunculkan
adanya perbedaan perlakuan antara wanita yang telah menikah dan belum menikah.
Lebih lanjut pula dibahas kebijakan mengenaikasus aborsi.
2. Nilai
Setiap
kebijakan mengandung nilai tertentu dan juga bertujuan untuk menciptakan norma
baru dalam organisasi. Nilai yang ada di masyarakat atau anggota organisasi
berbeda dengan nilai yang ada di pemerintah. Oleh karena itu perlu partisipasi
dan komunikasi yang intens pada saat merumuskan kebijakan.
a.
Nilai
keadilan: Upaya kesehatan
reproduksi sebagaimana yang tercantum dalam pasal ini bahwa setiap tindakan harus dilakukan oleh
tenaga kesehatan untuk menjamin keamanan dalam melakukan upaya penyembuhan dan
pemulihan begitu pula dengan kesehatan reproduksi yang di dalamnya berisi
aturan mengenai izin aborsi apabila kehamilan menimbulkan dampak negatif baik pada ibu maupun janin.
b.
Nilai ekonomis dalam upaya kesehatan reproduksi sebagaimana yang tercantum dalam
pasal ini dilakukan
untuk
mengembalikan status kesehatan, melindungi dan mencegah perempuan dari aborsi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dan ayat (3) yang tidak bermutu,
tidak aman, dan tidak bertanggung jawab serta bertentangan dengan norma agama
dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
c.
Nilai manfaat: pemerintah menjamin upaya kesehatan
reproduksi sebagaimana yang tercantum dalam pasal ini berpihak pada masyarakat dan upaya tersebut
dalam rangka untuk melindungi dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
3.
Karakteristik
a. Upaya.
Upaya kesehatan reproduksi
4.
Aktor
Dalam upaya kesehatan
reproduksi, mereka yang merupakan penentu
kebijakan di tingkat pusat dan daerah; pemangku kepentingan baik ditingkat
pusat dan daerah; tenaga kesehatan sebagai pemberi pelayanan, masyarakat
sebagai pengguna layanan serta organisasi sosial masyarakat dan lembaga-lembaga
swadaya masyarakat adalah actor atau advokat yang termasuk dalam kebijakan ini.
Oleh karena itu, kerjasama baik dari pemerintah, tenaga kesehatan dan
masyarakat mengenai masalah kesehatan tersebut harus ditanamkan dan menjadi
tanggung jawab bersama untuk mencapai manfaat dari kebijakan tersebut.
5. Isu Publik
Dalam UUK juga mengatur mengenai aborsi yang
aman untuk dilakukan tetapi pada praktiknya masih banyak tindakan aborsi tidak
dilakukan oleh tenaga kesehatan. Misalnya, orang yang memilih ke dukun untuk
melakukan aborsi padahal tindakan tersebut tentu saja tidak menjamin keamanan
dan timbulnya dampak-dampak negative.
D.
Kajian
Kebijakan
Tujuan yang ingin dicapai dalam
penyusunan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 ialah Pembangunan kesehatan
bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi
setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang
setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang
produktif secara sosial dan ekonomis. Oleh karena itu, kami mencoba untuk merumuskan
kebijakan kesehatan reproduksi yang ada di Indonesia.
1. Kebijakan
Umum Kesehatan Reproduksi yaitu :
a. Menempatkan
upaya reproduksi menjadi salah satu prioritas Pembangunan Nasional
b. Melaksanakan
percepatan upaya kesehatan reproduksi dan pemenuhan hak reproduksi ke seluruh
Indonesia
c. Melaksanakan
upaya kesehatan reproduksi secara holistik dan terpadu melalui pendekatan
siklus hidup
d. Menggunakan
pendekatan keadilan dan kesetaraan gender di semua upaya kesehatan reproduksi
e. Menyediakan
pelayanan kesehatan reproduksi berkualitas bagi keluarga miskin
2. Strategi
Umum
a. Menempatkan
dan memfungsikan Komisi Kesehatan Reprosuksi (KKR) pada tingkat Menteri
Koordinator serta membentuk KKR di provinsi dan kabupaten/kota.
b. Mengupayakan
terbitnya peraturan perundangan di bidang kesehatan reproduksi
c. Meningkatkan
advokasi, sosialisasi, dan komitmen politis di semua tingkat.
d. Mengupayakan
kecukupan anggaran/dana pelaksanaan kesehatan reproduksi
e. Masing-masing
penanggungjawab komponen mengembangkan upaya kesehatan reproduksi sesuai ruang
lingkupnya dengan menjalin kemitraan dengan sektor terkait, organisasi profesi
dan LSM.
f. Masing-masing
komponen membuat rencana aksi mengacu pada kebijakan yang telah ditetapkan
g. Mengembangkan
upaya kesehatan reproduksi yang sesuai dengan masalah spesifik daerah dan
kebutuhan setempat, dengan memanfaatkan proses desentralisasi.
h. Memobilisasi
sumber daya nasional dan internasioanl baik pemerintah dan non pemerintah
i.
Menyediakan pembiayaan pelayanan KR melalui skema
Jaminan Sosial Nasional
j.
Melakukan penelitian untuk pengembangan upaya KR
k. Menerapkan
Pengarus-utama Gender dalam bidang KR
l.
Melaksanakan pemantauan dan evaluasi untuk kemajuan
upaya KR.
3. Kebijakan
dan Strategi Komponen
a.
Kebijakan Kesehatan Ibu dan Anak
1) Setiap ibu
menjalani kehamilan dan persalinan dengan sehat dan selamat serta bayi lahir
sehat
2) Setiap anak
hidup sehat, tumbuh dan berkembang secara optimal
b.
Strategi Kesehatan ibu dan anak
1)
Pemberdayaan perempuan,suami dan keluarga
a) Peningkatan
pengetahuan tentang tanda bahaya kehamilan, persalinan, nifas bayi dan balita
(health seeking care)
b) Penggunaan
buku KIA
c) Konsep SIAGA
(siap, Antar,Jaga)
d) Penyediaan
dana, transportasi, donor darah untuk keadaan darurat
e) Peningkatan
penggunaan ASI eksklusif
2)
Pemberdayaan Masyarakat
3)
Kerjasama lintas sektor, mitra lain termasuk
pemerintah daerah dan lembaga legislatif.
a) Advokasi dan sosialisasi ke semua stakeholders
b) Mendorong
adanya komitmen, dukungan, peraturan, dan kontribusi pembiayaan dari berbagai
pihak terkait.
c) Peningkatan
keterlibatan LSM, organisasi profesi, swasta, dan sebagainya.
4)
Peningkatan cakupan dan kualitas pelayanan kesehatan
ibu dan anak secara terpadu dengan komponen KR lain.
a) Pelayanan
antenatal
b) Pertolongan
persalinan, pelayanan nifas dan neonatal esensial.
c) Penanganan
kegawatdaruratan obstetrik dan neonatal
d) Pencegahan
kehamilan yang tidak diinginkan dan penanganan komplikasi pascakeguguran
e) Manajemen
terpadu Bayi Muda dan Balita sakit
f) Pembinaan
tumbuh kembang anak
g) Peningkatan
keterampilan tenaga kesehatan dan pemenuhan kelengkapan sarananya
h) Mengoptimalkan
pemanfaatan fasilitas pelayanan2
c.
Kebijakan Keluarga Berencana
1)
Memaksimalkan akses dan kualitas pelayaan KB
2)
Mengintegrasikan pelayanan Keluarga Berencana dengan
pelayanan lain dalam komponen kesehatan reproduksi
3)
Jaminan pelayanan KB bagi orang miskin
4)
Terlaksananya mekanisme operasional pelayanan
5)
Meningkatnya peran serta LSM, swasta dan organisasi
profesi
6)
Tersedianya informasi tentang program KB bagi remaja
7)
Terjadinya pemanfaatan data untuk pelayanan
d.
Srtategi Keluarga Berencana
1) Prinsip
integrasi artinya dalam pelaksanaanya tidak hanya bernuansa demografis tapi
juga mengarah pada upaya meningkatkan kesehatan reproduksi yang dalam
pelaksanaanya harus memperhatikan hak-hak reproduksi serta kesetaraan dan
keadilan gender
2) Prinsip
Desentralisasi, kebijakan pelayanan program keluarga berencana perlu
menyesuaikan dengan perubahan lingkungan institusi daerah dengan UU No. 22
tahun 1999 dan PP No. 25 tahun 2000
3) Prinsip
pemberdayaan, dengan ditingkatkannya kualitas kepemimpinan dan kapasitas
pengelola dan pelaksana program nasioanal KB dengan memberdayakan institusi
masyarakat, keluarga dan individu dalam rangka meningkatkan kemandirian.
4) Prinsip
kemitraan, meliputi koordinasi dalam rangka kemitraan yang tulus dan setara
serta meningkatkan partisipasi aktif masyarakat dan kerjasama internasional
5) Prinsip
segmentasi sasaran, meliputi keberpihakan pada keluarga rentan, perhatian
khusus pada segmen tertentu berdasarkan ciri-ciri demografis, sosial, budaya
dan ekonomi dan keseimbangan dalam memfokuskan partisipasi dan pelayanan menurut
gender
Kriteria kebijakan
dalam pasal dalam Pasal 79 adalah
keadilan dengan menekankan pada aspek
penyelenggaraan kesehatan sekolah melalui sekolah formal dan informal atau
melalui lembaga pendidikan lain untuk meningkatkan kemampuan hidup sehat peserta
didik dalam lingkungan hidup yang sehat.
Ketentuan mengenai kesehatan sekolah ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.
Tipe pendekatan yang digunakan dalam pasal ini adalah
pendekatan prediktif, dengan diberlakukannya kebijakan ini diharapkan penyelenggaraan
kesehatan sekolah meningkatkan perilaku hidup sehat peserta didik dalam
lingkungan hidup yang sehat agar terbentuk sumber daya manusia yang
berkualitas.
Kriteria kebijakan
dalam pasal 80 ini adalah keadilan
dengan menekankan pada aspek penyelenggaraan
kesehatan olah raga melalui sekolah formal dan
informal, segenap instansi pemerintah maupun swasta untuk meningkatkan
kemampuan hidup sehat peserta didik dalam lingkungan hidup yang sehat. Ketentuan mengenai olah raga ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah.
Tipe pendekatan yang digunakan dalam pasal ini adalah
pendekatan prediktif, dengan diberlakukannya kebijakan ini diharapkan
penyelenggaraan kesehatan olah raga meningkatkan perilaku hidup sehat peserta
dalam lingkungan hidup yang sehat agar terbentuk sumber daya manusia yang
berkualitas.
Kriteria kebijakan pasal 81 dan 82 adalah tersedianya
fasilitas layanan, tenaga kesehatan, obat yang dibutuhkan dalam program
penanggulangan bencana serta peran pemerintah dalam meningkatkan peran
masyarakat untuk ikut berpartisi pasi dalam penanggulangan bencana
Pelaksanaan pasal ini menggunakan pendekatan
struktural dimana ada lembaga khusus yang menangani masalah keluarga berencana
yakni BNPB dengan kerja sama dengan Dinas kesehatan. Promosi program dilakukan
di masyarakat melalui para tenaga kesehatan.
E. Pasal yang bermasalah
Suatu
kebijakan diformulasikan untuk mengatasi ataupun mencegah timbulnya masalah,
khususnya masalah yang bersifat isu publik. Masalah disebut sebagai isu publik
manakala masalah itu menjadi keprihatinan (concern)
masyarakat luas dan mempengaruhi hajat hidup masyarakat luas.
1. Pasal
75 (ayat 1 dan 2)
1) Setiap
orang dilarang melakukan aborsi.
2) Larangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapatdikecualikan berdasarkan:
a. Indikasi
kedaruratan medis yang dideteksi sejak usiadini kehamilan, baik yang mengancam
nyawa ibudan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat
bawaan, maupun yang tidakdapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi
tersebuthidup di luar kandungan; atau
b.
Kehamilan akibat perkosaan yang
dapatmenyebabkan trauma psikologis bagi korbanperkosaan
2. Pasal
76
Aborsi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 hanya dapat dilakukan sebelum kehamilan
berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir, kecuali dalam
hal kedaruratan medis.
BAB
II
KONSEKUENSI
DAN RESISTENSI
A.
Perilaku
yang Muncul (Positif dan Negatif)
Dengan adanya Undang-Undang No.36 Tahun 2009 bab VI
bagian kelima mengenai upaya kesehatan dalam hal ini upaya penyembuhan penyakit
dan pemulihan kesehatan, bagian keenam mengenai kesehatan reproduksi
menunjukkan bahwa tingginya tingkat perhatian pemerintah terhadap peningkatan
derajat kesehatan di Indonesia. Dengan adanya Undang-Undang tersebut memberikan
perubahan paradigma baru yaitu paradigm sehat yang berarti bahwa lebih promosi
dan pencegahan kesehatan tanpa melupakan kuratif dan rehabilitatif. Ini
memberikan indikasi bahwa dengan adanya paradigm seperti itu akan merubah
perilaku masyarakat dan akan mengurangi angka kesakitan dan kematian.
Ada 2 perilaku berlawanan yang diperkirakan akan muncul
sebagai konsekuensi bila UU Kesehatan ini diberlakukan.
1. Perilaku
Positif
Dengan berlakunya kebijakan ini, tentu
memberikan peluang pada penderita penyakit untuk sembuh. Kesehatan reporoduksi
terutama tindakan aborsi akan memberikan perlindungan kepada mereka yang
melakukan tindakan tersebut. Selain itu, pemerintah
baik pemerintah pusat maupun daerah, masyarakat, swasta sebagai pelaksana akan
lebih dituntut eksistensinya terhadap upaya penyembuhan dan pemulihan
kesehatan serta kesehatan reproduksi sehingga dalam melaksanakan kebijakan
tersebut dilakukan secara berkesinambungan dan
termanfaatkan sesuai dengan ketentuan dalam kebijakan yang telah ditetapkan.
2. Perilaku Negatif
Kebijakan tidak hanya memberikan dampak positif tetapi juga
mempunyai dampak negatif. Dengan adanya kebijakan tersebut masyarakat kemudian
menerima aborsi dapat dilakukan namun banyak yang menyalahgunakan kebijakan
ini. Hal ini dapat dilihat dengan semakin banyaknya tindakan aborsi yang
sengaja dilakukan hanya untuk menutup aib akibat pergaulan yang salah. Dengan
berlakunya kebijakan ini pemerintah maupun pelaksana lain diberikan kekuasaan
untuk memanajemenkan upaya pencegahan kesehatan sesuai dengan apa yang telah
ditentukan dalam kebijakan, namun seringkali terdapat adanya penyalahgunaan
wewenang yang diperuntukkan untuk kesehatan masyarakat dalam hal ini adanya
tindakan disparitas dalam pelayanan kesehatan masyarakat.
B.
Resistensi
a. Bentuk
Resistensi terhadap kebijakan dalam upaya
kesehatan reproduksi ditunjukkan dengan :
1) Argumentatif: berupa pernyataan yang berlawanan
dengan kebijakan yang diterapkan dengan pelaksana kewenangan.
2) Afeksi : berupa ketidaksetujuannya terhadap
kepengurusan yang ada sekarang, sehingga ada keinginan untuk merestrukturisasi
kepengurusan kewenangan baru
3) Penyimpangan: ditunjukkan dengan adanya
segilintir pelaksana kewenangan yang berencana untuk untuk keluar dan membentuk
suatu instansi kewenangan baru. Hal ini tidak hanya terjadi pada pemerintah,
tetapi dimanfaatkan oleh orang-orang yang merupakan masyarakat umum yang tidak
sesuai dengan aturan yang berlaku.
b. Aktor
Penentu kebijakan di tingkat pusat dan daerah, pemangku
kepentingan baik ditingkat pusat dan daerah, penyandang dana atau donor dana
serta organisasi sosial masyarakat dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat.
c. Sumber
Lobi polotik, debat, dialog, negosiasi, petisi/resolusi,
mobilisasi serta penggunaan media masa.
C.
Masalah
Baru yang Timbul
Masalah baru dapat timbul dari sebuah
kebijakan. Masalah tersebut dapat berupa masalah yang hanya membutuhkan penanganan
kecil atau sebaliknya masalah tersebut bisa lebih serius dan mesti dikaji lebih
kritis.
Pada kebijakan mengenai
kasus aborsi, berdasarkan perkiraan dari BKBN, ada sekitar 2.000.000
kasus aborsi yang terjadi setiap tahunnya di Indonesia. Perempuan masih berada pada pihak yang tidak otonom dan
diskriminatif atas tubuhnya sepenuhnya mengingat aborsi harus dengan
persetujuan suami bagi yang telah menikah. Hilangnya jaminan hukum yang
sifatnya individual seperti pada pasal 72. Selain itu, pencegahan kesehatan
reproduksi bagi perempuan dewasa yang lajang tidak diakomodir karena dalam
prakteknya papsmear mensyaratkan harus sudah menikah. Hal tersebut tentu tidak
sejalan dengan upaya pencegahan terkait kesehatan reproduksi yang harus
dilakukan sejak dini dan secepat mungkin dalam rangka mendukung tercapainya
upaya kesehatan reproduksi.
BAB
III
PREDIKSI
KEBERHASILAN
A.
Prediksi
“Trade Off”
Pemerintah, masyarakat, swasta harus menjadi pelaksana
kebijakan yang berperan dalam penentuan status kemajuan dan kegunaan kebijakan
terhadap kesehatan yang ditujukan untuk pelayanan kesehatan di bidang pelayanan
publik, terutama bagi penduduk miskin, kelompok lanjut usia, dan anak
terlantar. Dengan dijalankan secara benar sesuai dengan UU, maka akan
meningkatkan kualitas pelayanan dan fasilitas kesehatan yang berdampak pada
peningkatan kesehatan masyarakat.
Pada kebijakan mengenai aborsi, prediksi keberhasilan
pemeriksaan kesehatan yang hanya dilakukan pada wanita yang sudah menikah. Hal
ini dapat memberikan peluang terjadinya
penyakit kesehatan reproduksi bagi remaja putri. Namun, disisi lain dapat
memberikan upaya kesehatan langsung pada sasaran (ibu hamil)
B.
Prediksi
Keberhasilan
Prediksi Kebijakan
merupakan upaya untuk memperkirakan berhasil tidaknya kebijakan yang telah
dibuat oleh Pemerintah RI dalam bidang kesehatan pada
saat/dimulai sekarang sampai 3-5 tahun kedepan. Prediksi keberhasilan
kebijakan ini dapat dilihat dari gambaran pembangunan kesehatan yang
telah dicapai 1-3 tahun terakhir. Gambaran pembangunan kesehatan dapat dilihat
dari beberapa kategori status kelangsungan hidup, status kesehatan
dan status pelayanan kesehatan.
Dengan adanya kebijakan
mengenai upaya penyembuhan dan pemulihan kesehatan serta upaya kesehatan
reproduksi serta sanksi jika terjadi pelanggaran terhadap kebijakan tersebut
akan mencegah terjadinya aborsi. Untuk mengukur
keberhasilan dapat dilihat adanya : Peraturan Perundangan, Surat Keputusan,
Edaran, Instruksi, himbauan dan dukungan termasuk sarana dan tenaga; adanya
anggaran dari APBD atau sumber lain; adanya jadwal koordinasi dan pemantauan
kegiatan; kemampuan pengambilan keputusan dalam menjelaskan setiap kegiatan;
serta terbentuknya dan berfungsinya forum masyarakat
BAB
IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kebijakan
Kesehatan Reproduksi di Indonesia merupakan Kesehatan
reproduksi perempuan terkait dengan berbagai hal sebagai berikut :
1. Kebijakan kependudukan
2. Muncul dan
berkembangnya penyakit HIV/AIDS dan PMS (penyakit menular seksual) lainnya
3. Kecenderungan
aktivitas seksual pada usia yang semakin muda
B. Rekomendasi
1. Kajian
kritis tetap diperlukan agar undang-undang nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan.
Kebutuhan nyata masyarakat harus menjadi prioritas sehingga menjadi
undang-undang yang lahir berdasarkan respon kebutuhan dan isu strategis yang
berkembang di masyarakat.
2. Perlu
ada kebijakan khusus yang mengatur sanksi yang lebih konkrit dan logis dalam
hal pengamanan aborsi sehingga tidak muncul adanya multitafsir dalam
implementasinya
3. Rumah sakit pemerintah seharusnya menjadi Badan Layanan Umum (BLU)
yang melayani masyarakat dengan subsidi besar dari pemerintah, bukannya
mengikuti tren globalisasi kesehatan.
Mekanisme mediasi harus
dikembangkan untuk menciptakan win win
solution. Sebab, faktanya kondisi/posisi pasien sangat lemah. Kondisi yang
rusak itu perlu di-restorative justice
untuk memperbaiki kesalahan. Dokter dan pasien sama-sama mendapatkan keuntungan
(perlindungan). Jika mekanisme mediasi tak bisa menyelesaikan, baru sanksi
pidana yang menyelesaikan sebagai ultimum remedium (upaya terakhir)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar